Tradisi Melayu Colok 27 “Likur” Ramadhan Mulai Tergerus Zaman

Tradisi Melayu Colok 27 “Likur” Ramadhan Mulai Tergerus Zaman
Wabup Bengkalis Suayatno saat menyalakan lampu festival colok.###

BENGKALIS, UTUSANRIAU.CO -- Tiga malam terakhir saban bulan Ramadhan adalah malam-malam yang sangat dinantikan masyarakat Bengkalis dan sekitarnya. Pada tiga malam tersebut kota Bengkalis seakan berubah wajah, gemerlap oleh ribuan lampu minyak tanah (colok) yang bergelantungan di gapura berbagai ornamen hasil kreatifitas para anak muda.

Satu ketika, peneraju daerah ini memimpikan pulau kecil di bibir Selat Melaka ini menjadi tumpuan banyak orang. Mereka sengaja datang ke Bengkalis hanya untuk melihat keindahan kota ini di malam hari saat ratusan menara colok berdiri di sepanjang jalan bahkan gang-gang kecil masuk ke rumah. Maka digagas sebuah iven atau festival lampu colok setiap malam 27 Ramadhan.

Semarak festival lampu colok setiap 27 Ramadhan dan keindahan lampu colok berbagai ornamen kian menarik minat orang untuk datang ke Bengkalis. Satu ketika, orang nomor satu di bumi Lancang Kuning, HM Rusli Zainal bersama sejumlah pejabat menggelar safari ke Bengkalis, selain silaturrahmi tujuan lainnya adalah menyaksikan keindahan lampu colok khas Bengkalis.

“Saya masih ingat, waktu itu tahun 2006, pak Gubernur bersama rombongan datang ke Sungai Alam. Kala itu memang luar biasa, festival colok terbesar yang pernah ada. Ada ratusan gapura colok berbagai bentuk berdiri di sepanjang jalan. Panitia tidak hanya menilai keindahan colok, tapi juga pondok-pondok tempat menunggu colok juga dinilai, "ujar warga Bengkalis Imran, Selasa (14/7/2015).

Jangan heran, kota kecil i ni seketika macet di beberapa lokasi, karena padatnya warga yang turun ke jalan menyasikan lampu colok. Bahkan dulu, lampu-lampu penerang jalan sengaja dimatikan oleh PLN, karena kota Bengkalis sudah diterangi oleh lampu colok.

Tapi itu dulu, saat semangat para pemuda dan seluruh elemen kompak membangun dan melestarikan tradisi lelulur menjadi sebuah keindahan luar biasa. Hampir tidak ada jalan dan gang yang tidak diterangi lampu colok.

Sayang, beberapa tahun terakhir gemerlap dan keindahan colok semakin tergerus. Walau ornamen yang dibangun oleh kelompok pemuda semakin cantik dan mengundang decak kagum, tapi jumlahnya tidak seberapa. Itupun berada di luar batas kota, sementara di jalan-jalan protokol di pusat kota, sudah sangat sulit menemukan menara colok, bahkan dengan ukuran kecil sekalipun.

Tengok saja, pada malam pertama dibukanya festival colok, Senin (13/7/2015) malam, oleh Wakil Bupati Bengkalis, H Suayatno. Hanya ada beberapa saja gapura colok ukuran besar, itupun berada di luar kota. Untuk di sekitaran kota, mulai dari Pangkalan Batang hingga ke Air Putih, hampir tidak ditemukan menara colok ukuran besar   . Bahkan di sekitaran kota atau di jalan-jalan yang selama ini banyak menara colok tidak ada sama sekali.

Tidak jelas apa yang menjadi penyebab tradisi leluhur yag sempat eksis itu tiba-tiba meredup dan terus terpinggirkan. Ada yan mengatakan, karena sulit dan mahalnya bahan baku minak tanah. “Untuk satu gapura colok ukuran besar bisa menghabiskan 5000 lebih kaleng, atau butuh 1,5 drum minyak tanah. Sementara harga minyak tanah sekarang cukup mahal. Bisa jadi ini yang menjadi penyebab festival colok semakin meredup,” ujar Jul pula.

Pendapat lain mengatakan, perubahan pradigma dan perkembagan kekinian yang membuat tradisi leluhur itu kian tergerus. Anak muda era ini tidak lagi berminat dengan hal-hal semacam itu. Berpanas dan bersusah payah mencari perlengkapan, mulai dari kayu, kaleng, sumbu dan minyak. Mereka terbangun oleh budaya instan.

Tapi Syafri tidak sepakat dengan pendapat itu. Menurut warga Senggoro ini, meredupnya festa colok setiap malam 27 Ramadhan, karena beberapa tahun lalu kegiatan tahunan itu tidak mendapat respon dari pemangku kebijakan daerah ini. Sehingga terjadi stagnan, tidak ada festival tidak ada bantuan dana apalagi hadiah.

“Kalau soal minyak, saya kira masyarakat kita masih bisa kompromilah. Tak sulit rasanya mengumpulkan tiga atau lima drum minyak untuk satu RT atau dusun. Kalau untuk gotong royong mencari kayu dan mendirikan menara juga tidak jadi soal. Lalu apa persoalannya, ya itu tadi, mendegnya festival karea tidak ada respon pemangku kebijakan,” sebut Syafri.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Wakil Bupati, H Suayatno saat pembukaan festival colok, Senin malam kemarin di desa Simpang Ayam, bahwa tradisi luluhur yang menjadi identitas melayu itu jangan sampai punah. Untuk itu dia mengajak seluruh elemen untuk terus menggalakkan dan melestarikan budaya colok setiap malam Tujuh Likur.***(bp)

###

Berita Lainnya

Index